“Maria.. Maria..”, suara mama membangunkanku yang sedari tadi tidur
dengan pulas. “shalat dulu, udah jam stengah tujuh. Nanti subuhnya kesiangan
tu..”. dengan setengah sadar kuturuti kata mama dan melangkahkan kaki yang
terasa berat sekali ke kamar mandi.
“e nong..maen monopoli yok.”. suara Ahmad yang melengking terasa
menggemakan kamarku. Ahmad adalah adikku satu-satunya, ia berumur tujuh tahun.
Kami selisih empat tahun. Tapi Ahmad tidak pernah memanggilku dengan sebutan
‘kak’, apalagi ‘kakak’, dengar saja cara dia memanggilku seperti tadi ‘nong’
atau dengan sebutan nama ‘Maria’. Dia memang adik yang sedikit menyebalkan,
tapi kami saling menyayangi.
“Tunggu..belom solat ni.”.
“tu lah..cepat sikit lah !” sahutnya.
“asslamualaikum warahmatullah...”. “Maria cepatlah..”. belum sempat
aku berdoa, Ahmad sudah menarik-narik mukenaku. Uh, rasanya dia memang sangat
menjengkelkan. Aku pun menurutinya, kududuk tepat dihadapannya, kami bermain di
atas tempat tidur. “sarah tutop pintu lu pet, nanti si Afif masok.. diganggunya
kita ntiik..!”. dengan geram kusentil telinganya dan lagi-lagi menuruti
kemauannya. Dia hanya tertawa. Emm, ngomong-ngomong, Afif adalah sepupuku. Dia
masih berumur kira-kira tiga tahun. Kami serumah, karena kami masih tinggal
bersama di rumah nenek. Rumahku ramai selalu, tidak pernah sepi, karna ada tiga
kepala keluarga dirumah. Tapi pagi ini tidak lengkap, meskipun ini adalah hari
minggu, Om ku tetap punya rutinitas berolah raga dengan rekan kerjanya.
“heh ! kok maen ambek-ambek aja hotelnya ?! uangnya mana ?!”.
suaraku yang sedikit membesar membuat dia menyengir karna telah bermain curang.
Tapi dia tetap saja membela diri, “Udah kok !!!”, malah suaranya tak kalah
nantang. Itulah sifatnya.
Bbrrrkk... Suara hantaman pintu mengagetkanku. “nak..!! nak !!
keluar...keluar..... gempa..”
Dengan panik aku pun keluar dari kamar dan berlari. Gempa yang luar
biasa itu membuat kepalaku pusing, berdiri tak kuat, duduk pun tak tenang.
Sepertinya mukaku tampak pucat, mama memelukku dan Ahmad. Semua keluargaku
berkumpul di halaman rumah. Adik mamaku yang akrab kusapa dengan panggilan
‘mucut’ pun tampak sangat resah. Suaminya belum juga pulang. Ada sebagian
tetangga yang histeris, bahkan mengira inilah kiamat. Aku tak kuasa melihat
tiang listrik yang seakan akan jatuh tepat di ubun-ubunku, pagar rumah yang
sekiranya akan terlepas dari rel rodanya, suara air dikamar mandi seperti
sepuluh orang yang sedang mandi. Takbir, tasbih, tahlil terdengar keras di
telingaku. Jantungku berdetak tak karuan, mataku mulai berkaca-kaca. Tangan dan
kakiku terasa dingin, jelas ketakutan itu hadir. Ketika kucoba mengucap laa
ila haillallah, nyaris tak terdengar. Suaraku bergetar, terbata. Ku panggil
abiku yang berjarak denganku, tak kuizinkan jauh dari posisiku. Kutenangkan
hati, karna kukira gempa mulai behenti. Om ku pun tiba dirumah, sepertinya ia
sangat kelelahan. Kami mulai masuk ke rumah. Pakchikku segera melanjutkan
makannya yang terhenti karena gempa tadi. Suasana sedikit tenang meski kami
tentunya masih waspada akan adanya gempa susulan. Kusadari abi telah pergi ke
asrama haji untuk mengunjungi saudara yang akan naik haji. Awalnya mama pun
ikut, tapi tak aku izinkan karna sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi,
hatiku tak tenang.
“aer laot naeek........aer laot naek..........!!” terdengar riuh
suara diluar. Ternyata penikmat kopi diujung lorong rumahku pada berlarian dan
berteriak memberi tahu warga bahwa air laut naik. Aku tak paham maksud mereka,
apakah itu sejenis banjir. Tak ada bayangan sedikitpun yang terlintas dibenakku.
Namun kulihat mama dengan sigap mengambil tas berisikan ijazah-ijazah serta
surat-surat. Begitu juga dengan mucut. Sepertinya gempa susulan mulai
menggoncangkan bumi ini kembali. Pandanganku sedikit buyar, semua orang rumah
terlihat panik. Sepertinya sesuatu yang hebat akan terjadi setelah ini. Suara
kendaraan dan orang yang berteriak terus terdengar. Huru hara yang tak pernah
aku alami sebelumnya.
“bagah...bagah.. !! aneuk miet yue ek laju lam moto[1]..!”
terdengar tegas suara omku. Aku yang saat itu memakai baju kaos putih dan
celana sebetis langsung duduk tepat disamping mama didalam mobil. Terlalu
sempit mobil ini untuk kami keluarga besar. Kami pun pergi meninggalkan rumah.
Mobil melaju kencang. Aku melihat kebelakang, ada air yang mengalir seperti
ular disana, mulai memasuki lorong rumahku. Air berwarna hitam, dan sepertinya
itu air laut yang dimaksud. Tapi entahlah. Yang jelas aku tak pernah melihat
air yang seperti itu sebelumnya.
“maa.. abi kek mana ma,,?! Ma..telpon abi ma..” rasanya aku tak
ingin pergi tanpa ada abi disampingku. Mama terus menghubungi nomor handphone
abi, tapi nihil. Sinyal tak ada.
Bruukkkkgg .. mobil kami menabrak kendaraan lain ditikungan. Aku
melihat jelas, abang yang memakai topi coklat itu terlompat keatas joek mobil
kami dan jatuh ke aspal. Bisa kurasakan sakitnya. Tapi ia tak berkata sepatah
katapun. Ia bangun sambil menggusuk pinggang kirinya dan terus membangunkan
hondanya kemudian melaju kembali. Kelihatannya ia buru-buru sehingga tak
memperdulikan badannya yang jelas saja sakit. ”Ya Allah, apakah ini kiamat ?”,
hatiku mulai coba berdialog dengan Tuhan. “Ya Allah dimanapun abiku berada,
jagalah ia. Aku masih ingin berkumpul bersama keluargaku dengan utuh. Ya Allah,
sampai kapan Engkau goyangkan bumiMu ini ? selamatkanlah kami ya Allah dari
cobaan ini.” Hatiku terus berbicara.
Kulihat air sungai di jembatan Simpang Surabaya sepertinya sebentar
lagi akan meluap. Air hitam dan tumpukan sampah serta kayu-kayu mulai menutupi permukaan.
Aku sempat memejamkan mata karena tak sanggup melihat gambar-gambar kehidupan
yang sepertinya tak mungkin sebuah kenyataan. Ada mayat disana, tertipa
timbunan kayu. Sejauh perjalanan aku lebih memilih hanyut dalam tahlilku.
Tak sanggup memandang lepas.
Dipenghujung jalan Peniti kami terjebak air. Omku mulai pitam. Ini
masalah, karna tak ada yang bisa menyetir selain omku. Kukipasi om dengan
kertas ala kadarnya, dan sepertinya ini sedikit membantu. Satu per satu
kendaraan berbalik arah menuju lintasan lain dan berusaha keluar dari jebakan
air hitam itu. Aku tak mampu melihat sorotan mata disetiap sudut, semua
berusaha menyelamatkan diri. Mereka berlari tak karuan. Bagi pengendara, tak
lagi peduli spion. Korban tabrakanpun mulai tak dihirau. Aku berusaha tidak
terayun pandangan. Alhamdulillah kami berhasil melewati suasana jalan
yang menegangkan.
“kita kemana ma ?” suara Ahmad kembali terdengar setelah lama
membisu. “ke Lambirah[2]
nak.” Yah, aku pun merasa itu tempat yang aman, jauh dari kota.Ahmad tak
menjawab, namun ada sebongkah pertanyaan yang tergambar dari cara ia menerima
jawaban mama. “abi sekarang dimana ma.?” Ia mewakili pertanyaanku, dan kali ini
dia bukan adik yang mmenjengkelkan. Mama tidak menjawab, hanya mengelus rambut
Ahmad yang agak sedikit pirang.
Sepanjang jalan menuju Lambirah
entah berapa tiang listrik yang tumbang , aku lupa menghitungnya. Lima belas
menit berlalu, kami sampai di rumah nenek Lambirah. Dan ternyata gempa masih
menggoyangkan bumi Aceh. aku tak mau terpisah dengan mama, kemanapun mama
beranjak, aku dan Ahmad ikut. Sampai larut malam kami belum bisa terlelap,
guncangan yang terkalu sering itu membuat kepalaku pusing. Dan yang paling
membuat hati tak karuan, kami belum tau keberadaan abi. Kubiarkan air mata
mengalir dipipi saat terkurung rasa gelisah itu. Dan terlelap dalam kegelapan
malam tanpa lampu.
Aku terbangun dan menyadari mama pergi untuk mencari abi. Singkat
cerita*. Sore harinya abi menjumpaiku yang sedang duduk diujung kayu depan
rumah. Aku memeluknya erat, kekhawatiranku hilang. Namun terlalu banyak luka
goresan di kaki, tangan, dan juga bagian badan. Abi berhasil menyelamatkan diri
dari timbunan sampah dan barang-barang yang terbawa air lainnya.
“abii.....” suara Ahmad menggabungkan suasana. Ia merebahkan
badannya di punggung abi.
“didepan rumah ada mayat kira-kira seusia Maria dan Ahmad, abi
teringat kalian.”
“kami gak liat mayat seusia abi, tapi tetap teringat abi. Hehe.”
Ahmad membuatku tertawa geli.
***
Ini adalah hari pertamaku kembali sekolah setelah libur panjang
akibat tsunami. Namun ini bukan sekolahku, ini hanya sekolah sementara selama
kami mengungsi. Banyak kesan-kesan disana. Dan banyak hal yang menyadarkanku
akan sesuatu. Aku kesekolah dengan kelengkapan seadanya. Yang biasanya
menggunakan seragam rapi, dengan tali pinggang, namun hari itu masih tergambar
jelas aku memakai kaus merah bergambar snoopy, celana training dan jilbab
kurung yang aku pinjam dengan cecekku.[3]
Yang biasanya buku-buku tertata rapi dalam tas ransel, hari itu aku hanya menyimpan
buku tulis UNICEF dan perlengkapan lain didalam kantong kresek. Yang biasanya
sepatu hitam dan kaus kaki putih membalut kaki, hari itu aku hanya beralaskan
swalo. Tapi yang membuat hari itu ceria adalah kesadaran bahwa kebahagiaan
bukan diukur dari materi, tapi dari keikhlasan. Aku ikhlas kesekolah, itulah
yang membuat aku ceria seperti biasa. Tidak lebih dari sebulan aku sekolah di
sana, selanjutnya kami kembali ke rumah induk, rumah nenek di Lampineung,
tepatnya belakang SMP 6.
Lumpur yang terlalu tebal dan lantai rumah yang masih bersemen
kasar menyulitkan kami membersihkan rumah, televisi yang biasanya duduk manis
diatas meja kayu panjang itu sekarang dilantai dengan posisi terbalik.
Barang-barang lainnya juga tak kalah acak. Tapi diluar sana masih terlalu
banyak orang-orang yang kehilangan segalanya. Dan yang terpenting saat ini,
keluargaku masih utuh.
“Maria, monopolinya selamat ! Tak ada lumpur yang menodai.” Suara Ahmad
memecah keheningan saat kami sedang membersihkan rumah.
“monopoli apaan ?” aku yang sedang didapur menyahut dengan setengah
menjerit.
“sini dulu !”
Aku pun menyusulinya yang sedang di kamarku. Tawa mulai mengisi
kamar meski sedang mengunyah biskuit, saat kumelihat monopoli yang kami mainkan
26 Desember 2004 lalu, masih utuh setelah seminggu lamanya ia terduduk di atas
tempat tidurku. Di tambah lagi dengan gaya Ahmad dan nyengirnya yang khas.
“haha. Karena spring-badnya mengapung, monopolinya selamat.” Seruku
yang menganggap itu kesan yang lucu. Maklum, umurku waktu itu masih sekitar
sebelas tahun.
“yok maen..”
Dengan setengah tertawa aku turuti ajakannya. Semoga bermain kali
ini tidak diiringi gempa.
Krrrkkkkk.. bunyi tempat tidurku. Aku dan Ahmad spontan terkejut
dan merasa tempat tidur goyang. Hah ?!! gempa ??!!