:)

welcome.............

semoga bermanfaat...^^


_salam sukses selalu :)

[mahasiswi STAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA]

Minggu, 06 Januari 2013

Monopoli Kenangan Tsunami





“Maria.. Maria..”, suara mama membangunkanku yang sedari tadi tidur dengan pulas. “shalat dulu, udah jam stengah tujuh. Nanti subuhnya kesiangan tu..”. dengan setengah sadar kuturuti kata mama dan melangkahkan kaki yang terasa berat sekali ke kamar mandi.
“e nong..maen monopoli yok.”. suara Ahmad yang melengking terasa menggemakan kamarku. Ahmad adalah adikku satu-satunya, ia berumur tujuh tahun. Kami selisih empat tahun. Tapi Ahmad tidak pernah memanggilku dengan sebutan ‘kak’, apalagi ‘kakak’, dengar saja cara dia memanggilku seperti tadi ‘nong’ atau dengan sebutan nama ‘Maria’. Dia memang adik yang sedikit menyebalkan, tapi kami saling menyayangi.
“Tunggu..belom solat ni.”.
“tu lah..cepat sikit lah !” sahutnya.
“asslamualaikum warahmatullah...”. “Maria cepatlah..”. belum sempat aku berdoa, Ahmad sudah menarik-narik mukenaku. Uh, rasanya dia memang sangat menjengkelkan. Aku pun menurutinya, kududuk tepat dihadapannya, kami bermain di atas tempat tidur. “sarah tutop pintu lu pet, nanti si Afif masok.. diganggunya kita ntiik..!”. dengan geram kusentil telinganya dan lagi-lagi menuruti kemauannya. Dia hanya tertawa. Emm, ngomong-ngomong, Afif adalah sepupuku. Dia masih berumur kira-kira tiga tahun. Kami serumah, karena kami masih tinggal bersama di rumah nenek. Rumahku ramai selalu, tidak pernah sepi, karna ada tiga kepala keluarga dirumah. Tapi pagi ini tidak lengkap, meskipun ini adalah hari minggu, Om ku tetap punya rutinitas berolah raga dengan rekan kerjanya.
“heh ! kok maen ambek-ambek aja hotelnya ?! uangnya mana ?!”. suaraku yang sedikit membesar membuat dia menyengir karna telah bermain curang. Tapi dia tetap saja membela diri, “Udah kok !!!”, malah suaranya tak kalah nantang. Itulah sifatnya.
Bbrrrkk... Suara hantaman pintu mengagetkanku. “nak..!! nak !! keluar...keluar..... gempa..”
Dengan panik aku pun keluar dari kamar dan berlari. Gempa yang luar biasa itu membuat kepalaku pusing, berdiri tak kuat, duduk pun tak tenang. Sepertinya mukaku tampak pucat, mama memelukku dan Ahmad. Semua keluargaku berkumpul di halaman rumah. Adik mamaku yang akrab kusapa dengan panggilan ‘mucut’ pun tampak sangat resah. Suaminya belum juga pulang. Ada sebagian tetangga yang histeris, bahkan mengira inilah kiamat. Aku tak kuasa melihat tiang listrik yang seakan akan jatuh tepat di ubun-ubunku, pagar rumah yang sekiranya akan terlepas dari rel rodanya, suara air dikamar mandi seperti sepuluh orang yang sedang mandi. Takbir, tasbih, tahlil terdengar keras di telingaku. Jantungku berdetak tak karuan, mataku mulai berkaca-kaca. Tangan dan kakiku terasa dingin, jelas ketakutan itu hadir. Ketika kucoba mengucap laa ila haillallah, nyaris tak terdengar. Suaraku bergetar, terbata. Ku panggil abiku yang berjarak denganku, tak kuizinkan jauh dari posisiku. Kutenangkan hati, karna kukira gempa mulai behenti. Om ku pun tiba dirumah, sepertinya ia sangat kelelahan. Kami mulai masuk ke rumah. Pakchikku segera melanjutkan makannya yang terhenti karena gempa tadi. Suasana sedikit tenang meski kami tentunya masih waspada akan adanya gempa susulan. Kusadari abi telah pergi ke asrama haji untuk mengunjungi saudara yang akan naik haji. Awalnya mama pun ikut, tapi tak aku izinkan karna sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi, hatiku tak tenang.
“aer laot naeek........aer laot naek..........!!” terdengar riuh suara diluar. Ternyata penikmat kopi diujung lorong rumahku pada berlarian dan berteriak memberi tahu warga bahwa air laut naik. Aku tak paham maksud mereka, apakah itu sejenis banjir. Tak ada bayangan sedikitpun yang terlintas dibenakku. Namun kulihat mama dengan sigap mengambil tas berisikan ijazah-ijazah serta surat-surat. Begitu juga dengan mucut. Sepertinya gempa susulan mulai menggoncangkan bumi ini kembali. Pandanganku sedikit buyar, semua orang rumah terlihat panik. Sepertinya sesuatu yang hebat akan terjadi setelah ini. Suara kendaraan dan orang yang berteriak terus terdengar. Huru hara yang tak pernah aku alami sebelumnya.
“bagah...bagah.. !! aneuk miet yue ek laju lam moto[1]..!” terdengar tegas suara omku. Aku yang saat itu memakai baju kaos putih dan celana sebetis langsung duduk tepat disamping mama didalam mobil. Terlalu sempit mobil ini untuk kami keluarga besar. Kami pun pergi meninggalkan rumah. Mobil melaju kencang. Aku melihat kebelakang, ada air yang mengalir seperti ular disana, mulai memasuki lorong rumahku. Air berwarna hitam, dan sepertinya itu air laut yang dimaksud. Tapi entahlah. Yang jelas aku tak pernah melihat air yang seperti itu sebelumnya.
“maa.. abi kek mana ma,,?! Ma..telpon abi ma..” rasanya aku tak ingin pergi tanpa ada abi disampingku. Mama terus menghubungi nomor handphone abi, tapi nihil. Sinyal tak ada.
Bruukkkkgg .. mobil kami menabrak kendaraan lain ditikungan. Aku melihat jelas, abang yang memakai topi coklat itu terlompat keatas joek mobil kami dan jatuh ke aspal. Bisa kurasakan sakitnya. Tapi ia tak berkata sepatah katapun. Ia bangun sambil menggusuk pinggang kirinya dan terus membangunkan hondanya kemudian melaju kembali. Kelihatannya ia buru-buru sehingga tak memperdulikan badannya yang jelas saja sakit. ”Ya Allah, apakah ini kiamat ?”, hatiku mulai coba berdialog dengan Tuhan. “Ya Allah dimanapun abiku berada, jagalah ia. Aku masih ingin berkumpul bersama keluargaku dengan utuh. Ya Allah, sampai kapan Engkau goyangkan bumiMu ini ? selamatkanlah kami ya Allah dari cobaan ini.” Hatiku terus berbicara.
Kulihat air sungai di jembatan Simpang Surabaya sepertinya sebentar lagi akan meluap. Air hitam dan tumpukan sampah serta kayu-kayu mulai menutupi permukaan. Aku sempat memejamkan mata karena tak sanggup melihat gambar-gambar kehidupan yang sepertinya tak mungkin sebuah kenyataan. Ada mayat disana, tertipa timbunan kayu. Sejauh perjalanan aku lebih memilih hanyut dalam tahlilku. Tak sanggup memandang lepas.
Dipenghujung jalan Peniti kami terjebak air. Omku mulai pitam. Ini masalah, karna tak ada yang bisa menyetir selain omku. Kukipasi om dengan kertas ala kadarnya, dan sepertinya ini sedikit membantu. Satu per satu kendaraan berbalik arah menuju lintasan lain dan berusaha keluar dari jebakan air hitam itu. Aku tak mampu melihat sorotan mata disetiap sudut, semua berusaha menyelamatkan diri. Mereka berlari tak karuan. Bagi pengendara, tak lagi peduli spion. Korban tabrakanpun mulai tak dihirau. Aku berusaha tidak terayun pandangan. Alhamdulillah kami berhasil melewati suasana jalan yang menegangkan.
“kita kemana ma ?” suara Ahmad kembali terdengar setelah lama membisu. “ke Lambirah[2] nak.” Yah, aku pun merasa itu tempat yang aman, jauh dari kota.Ahmad tak menjawab, namun ada sebongkah pertanyaan yang tergambar dari cara ia menerima jawaban mama. “abi sekarang dimana ma.?” Ia mewakili pertanyaanku, dan kali ini dia bukan adik yang mmenjengkelkan. Mama tidak menjawab, hanya mengelus rambut Ahmad yang agak sedikit pirang.
 Sepanjang jalan menuju Lambirah entah berapa tiang listrik yang tumbang , aku lupa menghitungnya. Lima belas menit berlalu, kami sampai di rumah nenek Lambirah. Dan ternyata gempa masih menggoyangkan bumi Aceh. aku tak mau terpisah dengan mama, kemanapun mama beranjak, aku dan Ahmad ikut. Sampai larut malam kami belum bisa terlelap, guncangan yang terkalu sering itu membuat kepalaku pusing. Dan yang paling membuat hati tak karuan, kami belum tau keberadaan abi. Kubiarkan air mata mengalir dipipi saat terkurung rasa gelisah itu. Dan terlelap dalam kegelapan malam tanpa lampu.
Aku terbangun dan menyadari mama pergi untuk mencari abi. Singkat cerita*. Sore harinya abi menjumpaiku yang sedang duduk diujung kayu depan rumah. Aku memeluknya erat, kekhawatiranku hilang. Namun terlalu banyak luka goresan di kaki, tangan, dan juga bagian badan. Abi berhasil menyelamatkan diri dari timbunan sampah dan barang-barang yang terbawa air lainnya.
“abii.....” suara Ahmad menggabungkan suasana. Ia merebahkan badannya di punggung abi.
“didepan rumah ada mayat kira-kira seusia Maria dan Ahmad, abi teringat kalian.”
“kami gak liat mayat seusia abi, tapi tetap teringat abi. Hehe.” Ahmad membuatku tertawa geli.
***
Ini adalah hari pertamaku kembali sekolah setelah libur panjang akibat tsunami. Namun ini bukan sekolahku, ini hanya sekolah sementara selama kami mengungsi. Banyak kesan-kesan disana. Dan banyak hal yang menyadarkanku akan sesuatu. Aku kesekolah dengan kelengkapan seadanya. Yang biasanya menggunakan seragam rapi, dengan tali pinggang, namun hari itu masih tergambar jelas aku memakai kaus merah bergambar snoopy, celana training dan jilbab kurung yang aku pinjam dengan cecekku.[3] Yang biasanya buku-buku tertata rapi dalam tas ransel, hari itu aku hanya menyimpan buku tulis UNICEF dan perlengkapan lain didalam kantong kresek. Yang biasanya sepatu hitam dan kaus kaki putih membalut kaki, hari itu aku hanya beralaskan swalo. Tapi yang membuat hari itu ceria adalah kesadaran bahwa kebahagiaan bukan diukur dari materi, tapi dari keikhlasan. Aku ikhlas kesekolah, itulah yang membuat aku ceria seperti biasa. Tidak lebih dari sebulan aku sekolah di sana, selanjutnya kami kembali ke rumah induk, rumah nenek di Lampineung, tepatnya belakang SMP 6.
Lumpur yang terlalu tebal dan lantai rumah yang masih bersemen kasar menyulitkan kami membersihkan rumah, televisi yang biasanya duduk manis diatas meja kayu panjang itu sekarang dilantai dengan posisi terbalik. Barang-barang lainnya juga tak kalah acak. Tapi diluar sana masih terlalu banyak orang-orang yang kehilangan segalanya. Dan yang terpenting saat ini, keluargaku masih utuh.
“Maria, monopolinya selamat ! Tak ada lumpur yang menodai.” Suara Ahmad memecah keheningan saat kami sedang membersihkan rumah.
“monopoli apaan ?” aku yang sedang didapur menyahut dengan setengah menjerit.
“sini dulu !”
Aku pun menyusulinya yang sedang di kamarku. Tawa mulai mengisi kamar meski sedang mengunyah biskuit, saat kumelihat monopoli yang kami mainkan 26 Desember 2004 lalu, masih utuh setelah seminggu lamanya ia terduduk di atas tempat tidurku. Di tambah lagi dengan gaya Ahmad dan nyengirnya yang khas.
“haha. Karena spring-badnya mengapung, monopolinya selamat.” Seruku yang menganggap itu kesan yang lucu. Maklum, umurku waktu itu masih sekitar sebelas tahun.
“yok maen..”
Dengan setengah tertawa aku turuti ajakannya. Semoga bermain kali ini tidak diiringi gempa.
Krrrkkkkk.. bunyi tempat tidurku. Aku dan Ahmad spontan terkejut dan merasa tempat tidur goyang. Hah ?!! gempa ??!!




[1]  Cepat..cepat.. anak-anak suruh naik terus ke dalam mobil
[2]  di daerah Aceh Besar
[3]  Cecek adalah sebutan untuk adik ibu, sama seperti tante