“khm, namaku Imanosa Zakia, panggil saja Osa. Aku pindahan dari SMA
Unggul Suaka Mudi. Aku lebih suka menyendiri dan kurang senang dengan suasana
yang ribut atau tidak tenang. Cukup ini saja tentangku.”
Suasana kelas mulai tak acuh, sepertinya mereka menyadari
kejanggalan dari apa yang kuucap dengan lantang didepan kelas beberapa detik
yang lalu. Dan guru itu -akh entah siapa nama beliau- menyuruhku mengambil
tempat kosong dibangku paling belakang. Tapi aku memilih duduk di bangku kedua
dari belakang, karena kebetulan hari itu kosong, dari pada aku harus duduk
dengan laki-laki yang sok cool (kelihatan dari tampangnya).
***
Pasir-pasir halus di samping lapangan basket kubiarkan mengotori
sepatuku, angin terus memainkan tiap helaian rambutku yang hitam dan sedikit
ikal ini. Tapi aku nyaman, nyaman karna tak seorangpun yang menghampiriku. Aku
duduk menyilang di pinggiran lapangan basket sesekali mendengar suara pantulan
basket mendekatiku. Tapi tak peduli, ya bagaimana aku bisa peduli, sedari awal
kuambil posisi dudukku, mataku terus terpejam tanpa melihat bola basket yang
menari-nari di depanku. Sesekali aku mendengar jeritan dengan suara nge-bas
(pastinya suara laki-laki) yang memakiku. mungkin karena aku tak peduli bola
hampir menyambar wajahku, atau mungkin karena aku tak menghiraukan suara mereka
yang memerintahkan tanganku harus menyentuh bola yang lari dari arena dan
kembalikan pada mereka. Akh. Terserah. Aku masih duduk dengan mata terpejam dan
tenggelam dengan imajinasiku.
***
Ini hari kedua ku memasuki
kelas ini. Hmm, ditempat dudukku kemarin ada dua tas. Tanpa peduli apa-apa,
kupindahkan tas yang satunya ke bangku belakang, dan kuganti dengan tas ku.
Beberapa penghuni kelas melihat sinis kearahku, dan aku tahu, sebagiannya lagi
bahkan tak peduli. Kulirik bangku belakangku untuk memastikan keberadaan tas
yang kucampakkan begitu saja, eh, malah si sok cool yang nongol. Matanya
tajam kearahku, dan aku tak suka. Kutunjukkan dua jariku yang seolah-olah akan
meluncur ke matanya, hanya sebagai peringatan untuk matanya yang membuatku
semakin membenci gayanya itu.
Kukeluarkan buku bersampul coklat dengan gambar-gambar robot di
covernya. Kubuka pada lembaran berwarna merah. Dan kutambahkan ”177. Si Sok
Cool”. Yeah, dia adalah makhluk muka bumi ini yang membuat aku membencinya, dan
dia tepat pada urutan ke seratus tujuh puluh tujuh. Sedikit kuberi lambang
dengan emot hidung pinokio (karena hidungnya yang mancung), hanya sebagai
tanda.
“tas Ela kok di belakang sih..?? Mia, knp gak bilang sih ma dia
kalo disini aku yang duduk..” hmm, si
Ela yang sebenarnya duduk di bangku ini. Aku langsung menyimpulkan dia juga
menyebalkan. Tapi masih pada posisi rendah, dan aku tetap tidak peduli. Entah
dimana dia duduk setelah beberapa percakapan panjang antara dia dan beberapa
penghuni kelas lainnya.
Pelajaran berlangsung dengan sedikit membosankan. Dan aku
menghabiskan waktu dengan menggambar. Spontan aku menendang kursi didepanku
dari bawah kolong. Bagaimana tidak, guru Bahasa Indonesia itu tidak mengatur
intonasinya dengan baik, sehingga sesekali nada ‘do’-nya mengejutkanku yang
sedang serius mengamati gambar di dalam ruang imajinasiku, sungguh menyebalkan
!, dan lagi-lagi aku tak peduli si pemilik bangku didepanku mencibiriku dengan
bibirnya yang merah menor seperti habis makan sekarung cabai. Selesai si guru
berpidato didepan, selesai pula doodle-ku. Yeah kutulis tanggal hari ini
di sudut kanannya. Dan tak lupa, ‘Os-a’ sebagai inisial milikku.
***
Tepat sebulan aku menjalani hari-hari di rumah baru dan sekolah
baru. Tak satupun ada yang mendekatiku. Hanya saja teman-teman sekelas yang
sesekali mengajakku berbicara seperlunya. Dan aku hanya akan merespon pada
beberapa teman yang kuanggap tidak memiliki kelainan seperti kebanyakan makhluk
penghuni kelasku, seperti si sok cool, Ela si pemakan cabai, Ami si Amoeba (Ami
model basi-bodynya memang layaknya model, tapi mengenaskan bagiku untuk
mengakui lenggak lenggok yang tak menentu begituan-), dan masih banyak lagi.
Kurebahkan tubuhku
yang lelah setelah menghabiskan waktu berjam-jam bermain game. Mataku memandang
lurus pada ukiran di sepanjang pinggiran plafon kamarku. Ukiran yang kudesain
sendiri. Kuperhatikan ukiran demi ukiran, dan kututup mataku, begitu indah alam
imajinasiku. Aku mampu melukis diatas bintang, ukiran itu sekarang diatas
bintang. Begitu menyanangkan bagiku hidup dengan alamku sendiri. Sampai aku
terlelap.
***
Sudah dua tahun aku tercatat sebagai alumni SMA Sakti Jakarta. Dan
sudah dua tahun juga terdaftar sebagai staf di salah satu perusahaan Art
Indonesia. aku masih Osa yang dulu. Yang hanya mampu bekerja sendiri dan
tak bisa melewati suasana yang tidak tenang. Aku masih Osa yang hampir setiap
saat masuk dalam ruang angkasa milikku, dan menggambarkannya dengan seni
doodle. aku masih Osa yang tak peduli siapapun dan apa pun, yang menuliskan
daftar orang-orang memuakkan pada buku bersampul coklat dan bergambar robot-robot
pada covernya. Aku masih Osa yang bergerak spontan dan semauku. Dan aku Osa
yang tidak pernah punya cinta. Kalimat terakhir ini membuat bulu kudukku
berdiri. “apakah aku termasuk makhluk yang perlu dikasihani karena tidak
memiliki cinta ?”. pertanyaan itu membaluti ubun-ubunku, yang membuatku merasa
kekurangan. “Oh..tidaak..! aku Osa yang tidak peduli apapun, sekalipun itu
‘cinta’!” aku berusaha tidak men-judge keburukan atas diriku sendiri.
Miris!.
***
Seperti biasa, buru-buru ke kantor itu udah menjadi bagian dari
kebiasaanku. Sebelum berangkat kerja kulirik pada kalender meja kerjaku, “ha ??.
Sore ini reunian.” Sekilas terencana untuk tidak ikut hadir. Lagian tidak ada
yang spesial bagiku. Mereka semua sama saja.
Tiba dikantor aku dihadirkan dengan setumpuk pekerjaan. Seorang
staf-Bayu namanya, dan dia masuk dalam urutan ke dua ratus sekian daftar orang
yang kubenci-, mengintip kedalam bilik kerjaku, seraya berkata “Deadline-nya
hari ini sa. Jangan bad mood ya.”
Lontaran katanya memang sedikit menyebalkan, apa lagi diiringi cekikikan yang
panjang. Tapi aku belagak seperti tidak mendengar celotehan apa-apa. Kumatikan handphone
genggamku agar tak ada yang mengganggu jam kerjaku. Eh, tapi lagi-lagi, Bayu si
rekan yang menjengkelkan itu mengintip kebilikku untuk yang kedua kalinya.
“Sa, kok serius amat ? santay aja lagi. Si bos pasti takut sama
tampangmu yang jutek abis itu, bisa-bisa deadline untuk kamu
diperpanjang tuh.hehe”
Keningku sempat berkerut mendengar siulan si Bayu yang sama sekali
tak berirama itu.
“eh Sa, kenapa sih kamu kayak bunga pemakan serangga. Haha.”
Mendengar kata-kata itu aku memutar kursi dan mengarahkan pupil
mataku tepat pada matanya, rasanya aku ingin menelannya hidup-hidup.
“eits, eits.. Sa, jangan marah dong. Aku tadi Cuma nanyak kamu kok
serius amat. Aku Cuma mau ngajak kamu bercanda doang kok..suer. hehe.”
Sepertinya dia ingin mendinginkan suasana yang baru saja membakar telingaku.
“kalau mau panggil namaku, OSA, bukan sa..sa..paham ?! dan tugas
ini deadline hari ini, jadi aku harus selesaikan hari ini juga.(...)
satu lagi, jangan berbicara padaku hari ini kalau gak mau kita ribut!.” Mungkin
dia heran aku akan berpidato sedikit panjang untuknya. Dan mungkin juga ini
perdana aku menjabarkan kata demi kata sepanjang itu selama berada dikantor
ini. Kembali kuputar kursi dan melanjutkan tugasku. Entah bagaimana wajah si
Bayu, dan yang penting dia tak lagi bersiul-siul tanpa irama.
***
“huaaaaa, akhirnya selesai. Tepat pukul enam.” Kuhidupkan kembali handphoneku.
Dan bergegas merapikan seluruh kertas-kertas yang memenuhi meja kerjaku. Aku
hanya tinggal menyerahkan berkas-berkas kerjaanku dan pulang. Melelahkan
pekikku dalam hati.
Ada 12 pesan masuk di hp-ku.
Semuanya pesan dari teman-teman SMAku. Dan kesemuanya menanyakan keberadaanku
yang belum nongol dalam acra reunian. Aku bahkan nyaris lupa dengan reunian
itu. Kututup mata dan membiarkan pikiranku tenang, tapi aku tetap saja bingung
antara hadir atau tidak. Lagian, aku tidak tau rumah temanku yang mengadakan
acara reunian itu, jangankan rumah, bahkan namanya saja aku tak tau. Tapi
teman-temanku mengapa begitu antusias menunggu kehadiranku. Aku heran, kenapa
aku jadi merasa bimbang dan berat untuk meninggalkan acara itu.
“Osa, kamu cemas banget, kenapa ? buru-buru pulang ya ? yaudah sini
tugasmu biar aku kasih ke si bos, sekalian. Mau gak ?” Bayu melanggar aturan
yang kubuat tadi pagi, dia berbicara lagi padaku. Hmm, tapi sepertinya aku
membutuhkan keberadaannya saat ini.
“hmm, ini.” Sambil menyerahkan kertas-kertas kerjaan milikku
padanya. “thanks Bay. Aku duluan.”sambil meninggalkan senyum tipis untuknya.
Entah mengapa sebegitu ramahnya diriku. Tapi aku merasakan kepuasan tersendiri
setelah merenggangkan otot pipiku untuk tersenyum, walaupun hanya sedikit. Oh
Tuhan, trimakasih atas keajaiban ini.
***
“tolong kirim alamat tempat kita reuni. Maaf aku telat.” Itulah
pesan singkat yang aku kirim ke salah satu nomor yang menanyakan keberadaanku
tadi.
“kamu dimana ? biar aku jemput”
Akh, balasannya begitu bertele-tele, apa dia tidak tau aku begitu
malas dengan sesuatu yang ribet.
“aku punya motor sendiri!. Kirim alamatnya saja.” Inilah pesanku
yang terakhir, kalau terus begini aku lebih baik tidak hadir, begitu cakapku
dalam hati. Tapi, nomor itu malah....
“halo”
“Osa, ini aku Alis. kamu dikantor kan ? aku di parkir kantormu”
Hey, si pria sok cool tenyata yang mengirim pesan
bertele-tele. “ngapain kamu disini?”
“ikut aku”. Tapi suara itu bukan dari handphoneku. Ah,
ternyata dia dibelakangku.
Aku diperlakukan tidak seperti ketika SMA, dia berbicara padaku.
Seingatku kami tidak pernah berbicara berdua seperti ini. Aku bahkan terheran,
aku yang lupa ingatan, atau malah dia yang mulai tak waras.
“kalau kecepatan kamu Cuma dua puluh, kamu akan kehilangan jejakku.
Ingat itu ya wanita jutek.” what ?! you think I am a slow girl hah ?! aku
hanya menjawab,
“iya.”
***
“baby...you are so sexy, so beautiful now.” Si genit Meicha
menyambut kedatanganku dengan pelukan. Aku merasa begitu risih, apa lagi harus
menghirup parfumnya yang terlalu mencolok. Terlebih lagi rambutnya yang membuat
hidungku gatal.
“Osa, kamu tau gak, aku gak jumpa lagi deh sama manusia super aneh
kayak kamu semenjak kita berstatus jadi alumni” kalimat itu diiringi tawa-tawa
centil teman-temanku, aku hanya tersenyum sebisaku. Aku begitu yakin, mereka
hanya merindukan sosok Osa yang aneh dimata mereka, tapi mereka pasti lupa
telah menciptakan suasana tidak tenang, dan aku tidak suka itu. Aku bangkit
meninggalkan kerumunan teman-temanku. Aku lapar, dan rasanya aku hanya ingin
makan saja disini dan kemudian pulang.
“boleh aku duduk disini ?” suara yang mulai tak asing itu lagi-lagi
terdengar, Alis.
“Ini bukan kursiku. Tanya saja pada pemilik rumah” Jawabku.
“Rahel pasti mengizinkannya, dia kan kekasihku”. Kulirik pada
wajahnya, dan ternyata Alis si sok cool ini memberiku sebuah senyum
kecut. Membuatku tersedak. Sepertinya nasi ditenggorokanku akan melompat
keluar.
“nih, minum.” Ia menyodorkan minumanku. Akh, aku ingin ke bintang,
dan meninggalkan muka bumi ini.
“sudah, aku hanya ingin berbicara sebentar saja. Sudah lama aku
menunggu saat-saat begini. Aku dan kamu bisa duduk berdua, dan keadaan tidak
mencekik kedua leher kita. Haha.. Osa, Osa. Imanosa Zakia.” Ia tersenyum lagi
kearahku. Entah apa maksudnya, aku tak mengerti. Tapi aku memilih diam dan tak
lagi menelan sebiji nasipun. Aku mendadak kenyang mendengar kalimat itu. Tapi
aku tetap seperti tidak memperdulikannya.
“Imanosa Zakia, cewek jutek, keras, menyebalkan, tapi terkadang
lebih cerdas dari Einsten, pernah membuatku insomnia. Haha”
Kalimatnya membuat aliran darahku berhenti, rasanya aku ingin
mengganti mesin jantungku agar tidak mendadak rusak saat ini.
“haha. Membuatku insomnia dua tahun yang lalu.” Sambungnya. Kembali
aku melihat senyum dibibirnya. Dan sepertinya mata Alis memergoki keteganganku.
“hmm, jadi ? kamu mau apa ?!” jawabanku memang ketus, tapi
sebenarnya es es dalam jiwa ragaku saat ini telah mencair. Tuhan, bukalah pintu
imajinasiku. Bawalah aku ke angkasa. Alis telah membuatku gila saat ini.
“ini, aku kembalikan.” Pria disebelahku ini memberi sebuah amplop
pink berbunga dan ada lambang-lambang asmara, entah apa artinya aku tak paham.
“buka dirumah saja ya, itu surat dan pernyataan cinta yang aku
siapkan saat perpisahan kita. Tapi aku kehilangan kamu saat itu, dan aku yakin
kamu pasti sudah pulang. Lama aku merasa kehilangan kamu Sa, sampai pada
akhirnya aku lelah menjadi diriku yang aneh seperti yang kamu kenal saat itu.
Aku belajar membuka diri. Dan walaupun
kamu tersimpan dihati, aku mencoba menerima pernyataan cinta dari Rahel. Itupun
baru sekitar enam bulan. Semoga kamu juga mau membuka diri untuk seseorang. Dan
aku hanya akan merestui jika kamu menerima orang tersebut dengan ‘cinta’.”
Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Yeah, ‘cinta’. Tapi tetap saja aku
mengunci rapat bibirku. Aku bahkan seolah bisu.
“iya. Hmm, Sudah gelap. Aku harus pulang. Trimakasih untuk
kejujuran dan juga jemputanmu tadi.” Aku melihat kesenduan di mata Alis. aku
tak menyangka semuanya mengalir begitu saja. Hanya sesaat. Seperti mimpi. Aku
seperti sedang memainkan skenario di alam bawah sadarku.
“trimakasih. Aku merasa kalian bagian dari pengalamanku sepanjang
hidup” itulah kata-kata yang kuucapkan pada teman-temanku sebelum beranjak
meninggalkan halaman rumah Rahel.
***
Kamu benar-benar perempuan langka.
Beraninya mencuri
perhatianku.
Beraninya mengambil rasa cintaku.
Kamu.. Imanosa Zakia, perempuan yang membuat aku tau apa makna kata
‘cinta’.
Aku mencintaimu.
*maaf aku telah lama menyimpan gambar doodle yang kamu buat. Saat
itu gambarmu jatuh dibawah kursimu, dan aku menyimpannya. Gambar itu begitu
bersejarah Sa, sekian lama ia terpajang
didinding kamarku. Kalau kamu memberikan gambar itu untukku, itu pertanda kamu
mau terus menjadi pencuri hatiku. Dan jika kamu mengambil gambar itu kembali,
aku juga rela untuk memendam rasa ini tanpa tanda apa pun.
Alis Zora
Aku merasakan ada air yang mengalir deras di pipiku. Aku bahkan
terisak. Ya, aku menangis. Aku menangis !. Alis juga memberiku kartu member
basket club miliknya. Dan yang anehnya Alis Zora, member nomor seratus tujuh
puluh tujuh. Sama seperti urutannya sebagai orang yang menjengkelkan bagiku.
Apa dia tau itu urutan namanya di buku coklatku ? atau hanya sebuah kebetulan ?
akh, kepalaku semakin sakit. Rasanya aku ingin mati sekarang. I hate it !.
***
Ini hari ketiga aku membiarkan mataku bengkak. Dan aku bertekad
untuk meninggalkan hari burukku. Aku harus mulai membuka diri dan ‘hati’. Aku
harus membangun ‘cinta’ dari hati, tapi entah pada siapa. Semoga Tuhan mengirim
sosok yang spesial untukku.
by: S.Zet